Revitalisasi Kebijakan Kelautan dan Perikanan

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan bertujuan untuk pemanfaatan potensi sumberdaya yang ada secara optimal, tetapi tetap mempertahankan kontinuitas produksinya. Dengan perkataan lain, pendekatan pemanfaatan sumberdaya perikanan kelautan dan perikanan dewasa ini harus menerapkan prinsip-prinsip revolusi biru (sustanaible maritime economy), sehingga diperoleh manfaat optimal dalam jangka panjang (benefit in the long term).

Menurut hemat penulis, beberapa kebijakan yang harus dilakukan pemerintah untuk percepatan pembangunan kelautan dan perikanan adalah sebagai berikut :

  1. Penerapan Property Right

       Sebagaimana dijelaskan dalam identifikasi permasalahan sumberdaya bersifat pulih di wilayah pesisir dan lautan, bahwa sumberdaya perikanan laut di Indonesia bersifat open access, walaupun dalam undang-undang dinyatakan sebagai milik Negara (state property). Akibat luasnya wilayah perairan laut Indonesia, maka pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut adalah hal yang sulit dilakukan pemerintah, sehingga sangat memungkinkan terjadinya eskploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan dan illegal fishing oleh nelayan asing dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya deplesi sumberdaya perikanan.

       Untuk mengatasi hal ini, maka salah satu kebijakan ekonomi sumberdaya yang patut dikembangkan di Indonesia dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut adalah penerapan property right (hak pemanfaatan). Property right menurut Ress (1994) adalah hak yang menyatakan tentang kepemilikan, hak istimewa, maupun pembatasan dalam penggunaan sumberdaya alam. Dengan mengetahui hak dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam, maka kebijakan pemerintah maupun alokasi pasar dapat direncanakan. Dengan adanya property right yang jelas, maka dapat dilakukan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara efisien dan berkelanjutan (sustainability).

       Penerapan property right dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan akan memungkinkan terbentuknya 3 sistem pengelolan sumberdaya perikanan, yakni : 1) pengelolaan secara komunal (common property), 2) pengelolaan oleh Negara (state property), dan 3) pengelolaan oleh swasta (private property).

     Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan hak pengelolaan pada suatu komunal di wilayah pesisir, merupakan tipe pengelolaan sumberdaya yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat lokal. Pemberian hak seperti ini akan memungkinkan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, alat yang digunakan, dan musim penangkapan. Dengan perkataan lain, pemberian hak pengelolaan seperti ini akan menciptakan konservasi sumberdaya perikanan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

  1. Pembatasan Penangkapan Ikan (Total Allowable Catch)

     Salah satu kelemahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah belum adanya Perencanaan Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plant) yang di dalamnya termasuk Manajemen Stok Ikan. Dalam hal ini dapat dikembangkan konsep Total Allowable Catch (TAC) pada jenis-jenis ikan tertentu. Tietenberg (1998) menjelaskan, untuk menerapkan TAC pada ikan Salmon di Amerika Serikat, digunakan beberapa metode, yakni : peningkatan biaya penangkapan (raising the real cost of fishing), pembebanan pajak kepada pengusaha perikanan (taxes) dan pembatasan kuota yang dapat dijual setiap nelayan (individual transferable quotas).

       Untuk masa sekarang ini, konsep ini tampaknya belum sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia, walaupun UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan pada dasarnya telah mengakomodasi TAC tersebut. Namun alangkah baiknya jika dimulai dari sekarang untuk mencapai pengelolaan sumberdaya perikanan yang rasional dan optimal di masa mendatang khususnya pada wilayah perairan yang telah dinyatakan over fishing seperti perairan Selat Malaka dan Pantai Utara Jawa.

Dalam penerapan TAC diperlukan data stok perikanan yang akurat. Data dan informasi ini harus selalu diperbaharui secara periodik agar perubahan stok ikan akibat kegiatan penangkapan dan pengaruh perubahan lingkungan perairan dapat diketahui oleh pembuat kebijakan, pelaku usaha perikanan, dan masyarakat pesisir. Oleh sebab itu, pengembangan Sistem Informasi Perikanan adalah landasan utama untuk menyusun perencanaan TAC.

  1. 3. Perubahan Kuantitas Menjadi Kualitas

     Dengan menerima kebenaran data-data perikanan sekarang ini bahwa pada beberapa kawasan perairan pesisir di Indonesia, khususnya perairan laut teritorial (0 – 12 mil laut) telah terjadi penangkapan ikan yang berlebihan, maka perlu adanya perubahan kebijakan dari aspek kuantitas menjadi kualitas. Perubahan ini dimaksudkan agar dicapai perikanan yang kompetitif di pasar internasional. Dengan perubahan ini, produk perikanan akan mempunyai nilai tambah dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan dan memberikan efek multiplier terhadap perkem-bangan sektor hulu dan hilir usaha perikanan.

       Pengadaan pabrik es, cold storage dan teknologi pengolahan lainnya diharapkan dapat berkembang dengan perubahan kebijakan ini. Contohnya, Thailand sangat inovatif dalam peningkatan nilai tambah melalui teknologi pengelolaan ikan tuna, seperti produk Sashimi, Loin, Fish Cake, Surimi, Canning, Fish Oil, Salted Fish, Fish Meal, Fish Ball, Tuna Sausage, Tuna Ham dan Fish Crackers. Selama produk perikanan tidak kompetitif di pasar domestik dan internasional, maka kontribusi sektor perikanan terhadap penerimaan negara akan sulit signifikan. Dengan hanya mengadalkan peningkatan produksi dengan jenis-jenis ikan yang dominan untuk kebutuhan domestik, maka pendapatan nelayan tidak dapat diharapkan akan mengalami peningkatan secara signifikan, terlebih-lebih adanya gejala penurunan hasil tangkapan di perairan pesisir di berbagai kawasan di Indonesia (CPUE semakin kecil), maka kehidupan nelayan akan sulit terangkat dari kondisi kemiskinan.

  1. Peningkatan Sistem Pengawasan

     Sistem pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan di Indonesia secara nyata masih lemah. Kegiatan illegal fishing (pencurian ikan dan perikanan destruktif) tidak mungkin dapat diatasi tanpa adanya pengendalian terpadu oleh berbagai pemangku kepentingan. Karena luasnya perairan Indonesia, maka KKP harus melibatkan berbagai sektor terkait termasuk masyarakat desa pantai untuk melakukan pemantauan (monitoring), pengawasan (controlling) dan pengendalian (survailance) praktek illegal fishing ini.

Di atas kertas, praktek MCS terpadu ini dengan SOP-nya mudah dibuat, namun implementasinya di lapangan tidak mudah dilakukan karena membutuhkan sarana dan prasarana MCS yang memadai, dan biaya operasional yang cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus mensupport pemerintah daerah untuk melakukan MCS ini karena keterbatasan APBD. Dengan perkataan lain, bila MCS terpadu ini ingin dilaksanakan secara efektif, maka sarana dan prasarana pengawasan ini harus dilengkapi pemerintah, agar kerugian negara dari illegal fishing ini dapat ditekan seminimal mungkin.

Kenyataan anggaran pemerintah masih terbatas dan luasnya perairan laut Indonesia, maka perlu dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat (Community Based Controlling). Cukup besar jumlah desa pantai di Indonesia, seyogianya pemerintah dapat membuat suatu kebijakan, sehingga setiap desa pantai memiliki kelembagaan pengawasan berbasis masyarakat. Dalam revitalisasi peran Pokmaswas desa pantai, maka KKP harus bekerjasama dengan Kemendagri dalam rangka penguatan kelembagaan tersebut di struktur pemerintahan desa pantai. Semoga terwujud, dan Indonesia menjadi negeri bahari yang maju.

(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas HKBP Nommensen Medan).

Strategi Pengendalian Illegal Fishing

Presiden Joko Widodo menginginkan ada tindakan tegas dan memberikan efek jera bagi kapal asing yang mencuri ikan di wilayah Indonesia, termasuk meneng-gelamkan kapal itu bila diperlukan. Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa masalah pencurian ikan di perairan Indonesia sudah sangat serius, dan memerlukan tindakan pengendalian yang konprehensif

           Maraknya praktek penangkapan ikan secara illegal di perairan laut Indonesia disinyalir banyak terkait dengan sistem perizinan kapal penangkap dan usaha perikanan yang diselewengkan pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan ditengah lemahnya sistem pengawasan. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan akan melakukan moratorium pemberian izin kapal penangkap ikan khususnya lebih dari 30 GT yang bertujuan untuk pembenahan sistem perizinan kapal penangkap ikan dan sekaligus upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Praktek illegal fishing yang marak terjadi di perairan laut Indonesia terdiri dari 2 jenis, yakni : 1) praktek pencurian ikan oleh nelayan asing, dan 2) praktek penangkapan ikan yang bersifat destruktif oleh nelayan lokal. Kasus pencurian ikan merupakan kisah lama yang tidak pernah tuntas di Indonesia dan bahkan sudah menimbulkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah per tahunnya. Berdasarkan estimasi dari FAO, rata-rata ikan yang dicuri dan dibuang ke laut sekitar 25 %, sehingga bila potensi perikanan laut Indonesia sebesar 6,4 juta ton/tahun, maka jumlah ikan yang dicuri sekitar 1,6 juta ton/tahun. Bila harga jual ikan $ 2 US per kg, maka kerugian negara akibat pencurian ikan ini sekitar Rp 30 triliun per tahun. Sungguh angka yang fantastis, dan kasus illegal fishing ini harus menjadi program prioritas bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

     Berbagai upaya telah dilakukan Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), namun belum membuahkan hasil yang signifikan. Beberapa upaya yang telah dilakukan seperti patroli reguler besama TNI AL dan Polisi Air, pemasangan VMS (Vessel Monitoring System), penataan izin usaha perikanan dan lain-lain, tetapi hasilnya belum nyata. Bahkan DPR sudah mempertanyakan hal ini kepada pemerintah, karena praktek pencurian ikan ini sudah memasuki perairan teritorial 12 mil sebagaimana banyak dilaporkan nelayan di berbagai daerah.

       Di sisi lain, kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif (destructive fishing) seperti penggunaan bom ikan dan racun, juga marak terjadi di perairan kita. Cara-rara penangkapan ikan seperti ini secara nyata telah merusak habitat ikan, seperti kerusakan habitat terumbu karang yang sudah mengkhawatirkan di Indonesia. Menurut kajian dari CRITC LIPI (2007), terumbu karang yang rusak di Indonesia telah mencapai 41,78 %, sedangkan kondisi baik hanya sebesar 23,72 % dan sangat baik tinggal 6,20 %. Dari kondisi tersebut, terumbu karang di kawasan perairan Indonesia barat memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan timur Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan illegal fishing lebih banyak terjadi di kawasan perairan Indonesia bagian barat ketimbang perairan Indonesia timur. Perlu diketahui bahwa perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang yang sehat, mampu menghasilkan ikan sebanyak 20 ton/km2/tahun.

       Berdasarkan fakta di atas, terjadinya deplesi sumberdaya perikanan di beberapa kawasan perairan Indonesia diduga terkait dengan praktek illegal fishing ini, bukan semata-mata karena meningkatnya jumlah kapal penangkap ikan oleh nelayan yang menyebabkan menurunnya CPU (catch per unit effort). Oleh sebab itu, perlu dicermati apakah kawasan perairan yang dinyatakan sudah over fishing hanya karena kebanyakan kapal penangkap ikan, atau karena sumberdaya ikan sudah mengalami deplesi akibat kegiatan perikan dekstruktif ?

 

Pengendalian Illegal Fishing

  • Penerapan MCS Terpadu

     Kegiatan illegal fishing (pencurian ikan dan perikanan destruktif) tidak mungkin dapat diatasi tanpa adanya pengendalian terpadu oleh berbagai pemangku kepentingan, yakni 1) Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2) Dinas Perhubungan Laut dan Syahbandar, 3) Direktorat Migrasi Departemen Tenaga Kerja, dan 4) Institusi Penegak Hukum (TNI AL, Polisi Air, Bea Cukai). Namun, karena luasnya perairan Indonesia, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah saatnya melibatkan masyarakat desa pantai untuk melakukan pemantauan (monitoring), pengawasan (controlling) dan pengendalian (survailance) praktek illegal fishing di perairan Indonesia.

Di atas kertas, praktek MCS terpadu ini dengan SOP-nya mudah dibuat, namun implementasinya di lapangan tidak mudah dilakukan karena membutuhkan sarana dan prasarana MCS yang memadai, dan biaya operasional yang cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus mensupport pemerintah daerah untuk melakukan MCS ini karena keterbatasan APBD. Dengan perkataan lain, bila MCS terpadu ingin dilaksanakan secara efektif, maka sarana dan prasarana pengawasan ini harus dilengkapi pemerintah, agar kerugian negara dari illegal fishing ini dapat ditekan seminimal mungkin.

       Kenyataan anggaran pemerintah masih terbatas dan luasnya perairan laut Indonesia, maka perlu dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat (Community Based Controlling). Cukup besar jumlah desa pantai di Indonesia, seyogianya pemerintah dapat membuat suatu kebijakan, sehingga setiap desa pantai memiliki kelembagaan pengawasan berbasis masyarakat. Untuk langkah awal, KKP melalui program pengelolaan dan rehabi-litasi terumbu karang (Coremap) telah membentuk lembaga pengawasas tingkat desa dan jumlahnya relatif sedikit. Misalnya untuk wilayah pesisir Propinsi Sumatera Utara, baru terdapat pada 29 desa pantai yang merupakan lokasi implementasi program Coremap. Seyogianya hal seperti ini dapat dikembangkan untuk setiap desa pantai secara nasional.

  • Pembenahan Sistem Perizinan

            Bila dikaji lebih dalam, terjadinya praktek illegal fishing juga terkait dengan ulah oknum pejabat yang bermain mata dengan pengusaha perikanan domestik dan mafia perizinan kapal ikan asing. Tindakan penyelewengan hukum ini meliputi permainan dalam penerbitan perizinan kapal dan alat tangkap, dimana pihak asing bekerjasama dengan pengusaha lokal dengan mengubah penampilan kapal ikan menyerupai kapal ikan lokal (pengecatan, modifikasi, dan nama lokal). Selain itu, perizinan kapal tidak sesuai dengan tonase kapal, misalnya dalam surat izin 1 unit kapal ikan 30 GT, ternyata kapalnya bertonase 90 GT dan kapalnya beberapa unit. Kemudian dalam hal perizinan tenaga kerja asing di bidang perikanan, juga menjadi celah-celah yang bisa dipermainkan.

            Sistem perizinan usaha perikanan dan kapal penangkap ikan secara hukum telah diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12Tahun 20102, dimana untuk kapal ikan ukuran 10 – 30 GT, maka izinnya dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, sedangkan kapal-kapal ikan > 30 GT, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (pusat). Kapal-kapal di atas 30 GT umumnya merupakan kapal ikan perusahaan domestik atau kapal asing yang mampu beroperasi di laut lepas di atas 12 mil laut. Golongan kapal inilah yang disinyalir banyak melakukan penyelewengan perizinan dengan berbagai modus di tengah lemahnya sistem pengawasan kita. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan bila Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mencanangkan moratorium pemberian izin kapal ikan di atas 30 GT, yang sekaligus bertujuan untuk memverifikasi izin yang sudah dikeluarkan dengan karakteristik kapal-kapal ikan yang sesungguhnya.

  • Kampanye Anti Produk Perikanan Ilegal

     Dalam rangka pengendalian illegal fishing, Kementerian Kelautan dan Perikanan haruslah menargetkan kapan Zero Illegal Fishing dapat dicapai. Hal ini penting untuk dapat menyusun langkah stategis dalam kampanye anti produk illegal fishing dalam skala nasional dan internasional.

Upaya kampanye anti produk tangkapan ikan ilegal mencakup aspek pencurian ikan (Illegal fishing), produk tangkapan tidak dilaporkan kepada instansi terkait alias jual beli ikan di laut (Unreported Fishing) dan kapal penangkap serta daerah penangkapan yang melanggar aturan (Unregulated Fishing) seperti penyalahgunaan izin kapal penangkap, pelanggaran aturan zonasi penangkapan, dan praktek perikanan destruktif. Hal ini perlu disosialisasikan pemerintah kepada seluruh stakeholder perikanan dan kelautan secara berkelanjutan, sehingga seluruh pemangku kepentingan ikut berperan aktif dalam pengendalian produk perikanan ilegal ini.

Pada Masyarakat Uni Eropa (MEE) misalnya, telah menerapkan Catch Cerfication terhadap produk perikanan hasil kegiatan illegal fishing sejak Januari 2010. Artinya, produk perikanan yang ditangkap dengan cara-cara ilegal tidak diperbolehkan masuk ke pasar produk perikanan di Uni Eropa. Informasi ini perlu disosialisasikan dan disebarkan ke masyarakat luas, sehingga pelaku illegal fishing akan semakin tertekan.

       Selain itu, pemerintah Indonesia perlu membuat perjanjian dengan negara-negara tetangga, yang ditenggarai sering melakukan praktek illegal fishing di perairan Indonesia. Perjanjian tersebut mencakup penyelesaian hukum unit penangkap ikan yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi KKP ke depan.

  • Perluasan Wilayah Konservasi Laut

     Upaya pengendalian illegal fishing secara simultan juga dapat dilakukan melalui pengembangan kegiatan konservasi laut di Indonesia.   Pada kawasan konservasi laut, upaya pengelolaan telah dilakukan secara terintegrasi antara pengawasan oleh instansi pemerintah (UPT) dan pengawasan berbasis masyarakat dalam kegiatan pengendalian illegal fishing. Sayangnya, jumlah kawasan konservasi di Indonesia masih terbilang sedikit, pada hal laut kita sangat luas dengan karakteristik ekosistem yang beragam antar wilayah. Misalnya untuk wilayah perairan laut Sumatera Utara, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) hanya terdapat 3 KKLD, yakni KKLD Pulau-Pulau Batu seluas 56.000 hektar, KKLD Lahewa seluas 34.000 hektar, dan KKLD Pulau Mursala seluas 28.000 hektar.

Pengendalian illegal fishing juga dapat dilakukan melalui pengembangan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di desa-desa pantai, dengan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Dapat dibayangkan jumlah desa pantai di seluruh Indonesia, bila seluruhnya memiliki Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), penulis berkeyakinan kegiatan illegal fishing termasuk perikanan destruktif seperti penggunaan bom ikan dan racun ikan akan berkurang signifikan. Dalam revitalisasi peran Pokmaswas desa pantai, maka KKP harus bekerjasama dengan Kemendagri dalam rangka penguatan kelembagaan tersebut di struktur pemerintahan desa pantai. Semoga terwujud.

(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas HKBP Nommensen Medan).

===000===

Pro Kontra Kebijakan Perikanan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang “mengggigit” untuk mendukung implementasi Indonesia sebagai poros maritim dunia, mulai dari moratorium izin penangkapan ikan untuk pengendalian illegal fishing, larangan transhipment (alih muatan) di tengah laut, pembatasan penyaluran BBM bersubdisi kepada kapal penangkap ikan, dan pembatasan penangkapan lobster serta pelarangan alat tangkap pukat tarik (cantrang) pada wilayah pengelolaan perikanan laut Indonesia. Menteri Susi bersedia dicopot dari jabatannya jika kebijakannya dianggap tidak berpihak kepada nelayan kecil.

Kebijakan ini sontak menimbulkan reaksi di masyarakat pesisir dan nelayan, ada yang mendukung dan ada yang protes. Kelompok yang kontra menilai berbagai kebijakan ini otoriter sehingga menimbulkan protes keras dari asosiasi perikanan Indonesia seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan bahkan telah memicu demontrasi masyarakat nelayan di berbagai daerah di tanah air. Tetapi kelompok masyarakat yang pro kebijakan ini khususnya dari Serikat Nelayan Seluruh Indonesia, mengemukakan sumberdaya perikanan harus dilestarikan, karena sekarang ini hasil tangkapan nelayan sudah sangat merosot akibat teknologi penangkapan ikan yang eksploitatif dan tidak selektif yang dimilki para pengusaha penangkapan ikan.

Bila dicermati lebih dalam, sesungguhnya kebijakan itu tidak ada yang salah dan bahkan sudah selaras dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dengan berbagai kebijakannya itu, Menteri Susi bahkan telah ditetapkan sebagai Menteri Nomor 1 dalam program kerja 100 hari Kabinet Kerja Joko Widodo.

Tentu timbul pertanyaan, mengapa para asosiasi perikanan itu protes keras ? Menurut hemat penulis disebabkan bahwa dalam penetapan kebijakan belum memperlihatkan keseimbangan aspek ekologi dan ekonomi yang menyangkut hajat hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tampaknya tidak melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menetapkan kebijakan itu, dan tidak tersosialisasi dengan baik, terutama dalam pembatasan penangkapan lobster yang menjadi mata pencaharian nelayan kecil dan pembudidaya laut, pelarangan alat tangkap cantrang di area perairan neritik yang selama ini menjadi lokasi operasi kegiatan nelayan tradisional.

Sering timbulnya masalah dalam penerapan kebijakan pelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan ekologi (konservasi) di satu pihak dan kepentingan ekonomi di pihak lain. Pemerintah dalam hal ini KKP memandang bahwa sumberdaya perikanan harus dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainability) baik untuk memenuhi kebutuhan masa kini maupun untuk kebutuhan masa mendatang sehingga tidak boleh dikuras habis-habisan sesuai amanat dari PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, sedangkan para pelaku usaha perikanan memandang bahwa sumberdaya perikanan harus dimanfaatkan secara maksimal dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum (maximum profit).

Untuk menyeimbangkan kepentingan ekologi dan ekonomi, sesungguhnya dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan zonasi pemanfaatan (utilization zonation) perairan laut dan pelaksanaan jeda penangkapan jenis ikan tertentu, yang bertujuan untuk kelestarian sumberdaya perikanan. Dengan kebijakan ini, maka di satu sisi daerah penangkapan nelayan tradisional untuk setiap wilayah perairan Kabupaten/Kota dapat diatur berdasarkan potensi sumberdaya perikanan yang ada, dan di sisi lain daerah perairan laut yang dinilai sudah mengalami tangkap lebih dapat dilakukan jeda penangkapan pada periode waktu tertentu. Dengan cara seperti ini, maka kegiatan nelayan kecil tetap berlangsung, dan melalui sosialisasi yang baik maka nelayan dapat menerima jeda penangkapan ikan dalam jangka waktu tertentu untuk konservasi sumberdaya ikan.

Dalam kaitannya dengan zonasi pemanfaatan laut, kebijakan yang dikeluarkan KKP baru pada wilayah pengelolaan sumberdaya perikanan yang terdiri dari 11 wilayah pengelolaan yang bersifat umum, dengan cakupan area perairan laut yang sangat luas. Oleh sebab itu, sudah saatnya dilakukan zonasi wilayah pemanfaatan yang lebih rinci pada wilayah perairan kabupaten/kota, sehingga nelayan kecil dan pembudidaya ikan tradisional dapat terlindungi dan tetap beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Zonasi perairan tersebut terdiri dari Zona Pemanfaatan (utilization zone) yakni wilayah pemanfaatan perairan untuk kegiatan penangkapan, budidaya ikan dan wisata, Zona Penyangga (buffer zone) yakni wilayah pemanfaatan perairan untuk kegiatan riset dan konservasi, dan Zona Inti (no activity zone) yakni wilayah perairan yang khusus diperuntukkan untuk perlindungan habitat bagi pemijahan ikan (spawning ground). Zona ini relatif mudah dibuat di wilayah perairan neritik (pantai) dengan cakupan wilayah pengelolaan laut untuk kabupaten/kota antara 0 – 4 mil laut sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Berdasarkan informasi dari KKP masih banyak kabupaten/kota yang belum menetapkan zonasi pemanfaatan perairan laut, pada hal zonasi perairan adalah dasar dari perencanaan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk pengelolaan wilayah pesisir.

Penetapan zonasi perairan bukanlah hal yang sulit dilakukan, karena penulis berkeyakinan KKP telah memiliki data dasar tentang potensi lestari perikanan laut untuk setiap kabupaten/kota. Bahkan dugaan stok jenis ikan ekonomis penting juga sudah diketahui, sebagaimana halnya jenis Lobster yang sudah diketahui mengalami deplesi populasi di perairan laut khususnya di habitat perairan berkarang (coral reef ecosystem).

Proses penetapan zonasi perairan laut haruslah melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), sehingga bila kebijakan itu diimplemen-tasikan di lapangan, dipastikan tidak menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat pesisir/nelayan. Proses pelibatan masyarakat pesisir/nelayan dalam penetapan kebijakan adalah hal yang mendasar, karena mereka secara langsung terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan.
Untuk menjamin kebijakan zonasi perairan dapat dilaksanakan secara konsisten, maka dibutuhkan pengawasan dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Namun dengan menyadari bahwa kemampuan pemerintah relatif terbatas dalam pengawasan sumberdaya perikanan dan kelautan, akibat terbatasnya anggaran dan sarana pengawasan, maka perlu dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Sistem pengawasan ini dinilai lebih efektif karena mereka berada di wilayah pesisir yang setiap hari dapat memantau kondisi di lapangan. Dalam hal ini pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dengan menyediakan sarana pengawasan, sedangkan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) menjadi ujung tombak pelaksana di lapangan. Semoga terwujud.***

(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan).

Hak Pengelolaan Sumberdaya Laut

Perikanan

Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti untuk memberantas kegiatan illegal fishing di perairan laut Indonesia patut diapresiasi. Namun dengan menyadari bahwa kemampuan pemerintah relatif terbatas dalam pengawasan illegal fishing (praktek pencurian ikan dan perikanan destruktif) dan karena perairan laut kita yang sangat luas, dan terbatasnya anggaran untuk meyediakan sarana dan prasarana MCS (monitoring, controlling, survailance), maka sudah saatnya dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat (community based controlling) secara nasional. Bila ingin dikembangkan sistem pengawasan berbasis masyarakat, maka harus jelas hak pengelolaan masyarakat desa pantai yang berada di wilayah pesisir. Untuk memperjelas hak pengelolaan tersebut, maka konsep Property Right (PR) sumberdaya kelautan dan perikanan harus dapat diimplementasikan di lapangan.

Kebijakan nerapan PR ini di satu segi akan mendorong ke arah pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan (sustainability) dan di sisi lain dapat memaksimalkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat (maximum social welfare) yang di dalammnya terlaksana sistem pengawasan sumberdaya kelautan secara simultan.

Dalam bukunya Natural Resource Economic and Policy, Tietenberg (1998) menjelaskan bahwa Property Right (PR) adalah hak yang menyatakan tentang pengelolaan, hak istimewa, maupun pembatasan dalam penggunaan sumberdaya alam. Dengan mengetahui hak dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku manusia dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka kebijakan pemerintah maupun alokasi pasar dapat direncanakan. Dengan adanya PR yang jelas, maka pemanfaatan sumberdaya hayati laut akan lebih efisien dan berkelanjutan, karena seluruh biaya yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya hayati tersebut menjadi tanggungjawab pemilik PR tersebut.

Agar PR itu dapat berjalan efektif dalam implementasinya, haruslah dipenuhi 4 kriteria berikut, yaitu : 1) hak pengelolaan harus dapat dinyatakan secara spesifik (universality), 2) semua manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dari hak pengelolaan sumberdaya laut tersebut menjadi tanggungjawab pemilik PR (exclusivity), 3) hak pengelolaan laut dapat ditransfer kepada pihak lain tanpa adanya paksaan (transferability), dan 4) hak pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus terjamin keamanannya dari perampasan dan gangguan pihak lain (enforceability). Bagaimanakah hak pengelolaan ini dapat diterapkan di Indonesia ?

Sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, khususnya Pasal 3 dan 10 yang menyatakan bahwa kewenangan propinsi dalam pengelolaan laut adalah 4 – 12 mil laut, dan kabupaten/kota 0 – 4 mil laut, maka penerapan PR ini lebih baik diserahkan kepada daerah (desentralisasi kebijakan), sedangkan untuk wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), PR ini sebaiknya diberikan oleh pemerintah pusat karena menyangkut hak dan kewajiban hukum laut internasional (UNCLOS).

Undang-undang Perikanan RI No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan khusunya Pasal 7 telah memberikan landasan hukum yang kuat dalam penerapan PR ini. Agar sistem dan kebijakan PR ini dapat diimplementasikan lebih cepat, maka seyogianya pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Pengelolaan Laut yang di dalamnya mengatur secara detail mengenai PR tersebut.
Dalam penerapan PR tersebut, kita tidak perlu berprasangka buruk bahwa wilayah laut akan dikapling-kapling. Dalam hal ini, wilayah laut tetap milik negara (state property) sesuai UUD 1945, tetapi hak (izin) pengelolaan diberikan kepada suatu kelompok masyarakat atau kepada pihak swasta. Hal seperti ini telah lama berlangsung di Jepang, Filipina, Amerika Serikat, dan negara lainnya. Sistem yang mereka terapkan pada dasarnya merupakan implementasi dari Ekonomi Biru (Blue Economy) yang diperkenalkan Gunter Pauli (2010) dan secara nyata telah mensejahterakan masyarakat nelayan.

Di Jepang, pengelolaan sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan tertentu diserahkan kepada Koperasi Nelayan, dan bahkan koperasi itu diberikan hak oleh pemerintah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan sumberdaya laut kepada pihak lain dengan aturan yang lengkap. Sistem ini memungkinkan sumberdaya perikanan laut dapat terlindungi dari kegiatan penangkapan ikan ilegal, pembatasan hasil tangkapan (allowable catch) melalui pengaturan waktu penangkapan, ukuran dan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan alat tangkap yang dapat digunakan, sehingga sumberdaya laut dapat dimanfaatkan secara efisien, optimal dan berkelanjutan.

Demikian juga di Filipina, hak pengelolaan diberikan kepada masyarakat lokal (desa pantai), dan pendapatan dari pajak dan retribusi kegiatan usaha perikanan sebagian dikembalikan ke desa nelayan tersebut untuk biaya pelestarian dan pengawasan sumberdaya pesisir (ikan, terumbu karang dan hutan mangrove). Hal yang sama juga telah lama diterapkan pada pengelolaan perikanan di Canada.

Oleh sebab itu, sangat memungkinkan diterapkannya konsep PR ini dalam pengelolaan sumberdaya laut secara nasional. Tampaknya tidak ada alasan yang meragukan untuk dapat menerapkan PR ini di Indonesia, karena secara fakta di beberapa kawasan perairan timur Indonesia, konsep PR ini dalam skala kecil (tradisional komunal) sudah lama diterapkan, dan bahkan sudah ada yang diakui (legislasi) melalui peraturan daerah.
Selama pemanfaatan sumberdaya hayati laut bersifat akses terbuka, dan tidak ada hak pengelolaan (PR) yang jelas, selama itu pula pemanfaatan sumberdaya hayati laut akan eksploitatif dan cenderung ke arah degradasi sumberdaya. Dengan menyadari hal ini, seyogianya Presiden Joko Widodo segera dapat mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai implementasi hak pengelolaan laut tersebut, sehingga pada pada akhirnya implementasi dari kebijakan ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, peningkatan penerimaan daerah (PAD), dan peningkatan devisa negara dari sektor kelautan dan perikanan. Semoga. *** (Penulis adalah Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan di Universitas Nommensen Medan)

Membangun Ekonomi Maritim

Ekonomi Maritim

Salah satu gagasan Presiden Joko Widodo dalam membangun sektor kelautan dan perikanan adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Gagasan poros maritim dunia pada dasarnya adalah bagian integral dari pembangunan ekonomi maritim atau konsep revolusi biru. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana strategi yang harus dilakukan Indonesia khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar gagasan presiden tersebut dapat terwujud ?

Untuk menjawab hal itu, maka penulis mengemukakan 3 pendekatan yang harus dilakukan, yakni pendekatan berbasis sumberdaya (resource based approach), pendekatan kuantitas menjadi kualitas (added value approach), dan pendekatan kemitraan global (global partnership approach). Pendekatan berbasis sumberdaya pada dasarnya kita harus bertitik tolak dari potensi sumberdaya kelautan kita, baik hayati, non hayati dan jasa lingkungan laut. Sedangkan pendekatan kuantitas menjadi kualitas bermakna pengembangan industri pengolahan produk perikanan untuk meningkatkan nilai tambah sesuai standar internasional, dan pendekatan kemitraan global bermakna kerjasama antar negara dalam investasi baik untuk infrastruktur kelautan maupun industri sarana produksi.

• Berbasis sumberdaya

Bila dilihat dari potensi kelautan secara nasional, sungguh merupakan modal yang besar dalam pembangunan. Perairan nasional dengan luas 3,1 juta km2 dan panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai potensi perikanan lestari sebesar 6,4 juta ton/tahun atau sekitar US $ 15 milyar/tahun, potensi budidaya laut (marine culture) seluas 24 juta hektar dengan potensi produksi 46,7 juta ton/tahun atau sekitar US $ 46,7 milyar/tahun, dan potensi budidaya air payau 913.000 hektar dengan produksi sekitar 1 juta ton/tahun dengan nilai sekitar US $ 10 milyar/tahun, sehingga total potensi perikanan sekitar US $ 71 milyar/tahun. Dari total potensi sumberdaya perikanan tersebut, yang sudah digali baru sekitar US $ 17,6 milyar/tahun atau 24,5 persen.

Disamping itu sektor kelautan juga memiliki potensi energi dari gelombang laut, pasang surut, OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion), produk bioteknologi laut, pariwisata bahari, industri maritim, jasa transportasi laut, bahan tambang dan mineral di dasar laut serta harta karun di dasar laut, sehingga total potensi kelautan kita mencapai sekitar US $ 75 milyar/tahun. Bila kita lihat data tersebut, sungguh laut kita menyimpan kekayaan yang sangat besar, dan layak dijadikan sebagai penggerak ekonomi nasional dan andalan utama (leading sector) untuk mewujudkan pembangunan Indonesia berbasis maritim.

• Kuantitas menjadi kualitas

Pedekatan yang kedua yang patut dikembangkan KKP adalah perubahan kebijakan dari peningkatan produksi menjadi peningkatan kualitas produk perikanan. Bila tujuan kita hanya meningkatkan produksi perikanan segar dan beku, maka nilai ekspor perikanan nasional tidak dapat mengalami peningkatan secara signifikan karena harganya relatif lebih rendah. Sangat berbeda bila produk perikanan dapat diolah menjadi bahan bernilai ekonomis tinggi dan berstandar internasional, dipastikan nilai ekspor perikanan akan meningkat signifikan. Berdasarkan data KKP, ekspor perikanan nasional tahun 2013 hanya 4,1 miliar dollar AS, dan bila dilakukan pengolahan produk perikanan, Kadin Indonesia memperkirakan nilai ekpor perikanan akan meningkat empat kali lipat atau sekitar 16 miliar dollar AS pada tahun 2016, dan menjadi 40 miliar dollar AS tahun 2019.

Berdasarkan hal ini, sudah saatnya Indonesia menyiapkan diri menjadi pusat pengolahan perikanan dunia, dan menerapkan standarisasi seluruh produk perikanan, sehingga produk perikanan Indonesia dikenal di berbagai pasar dunia. Hal inilah yang dilakukan Thailand dengan teknologi pengolahan inovatif menghasilkan produk olahan ikan bernilai ekonomis tinggi dan berstandar internasional (ISO) seperti produk Sashimi, Loin, Fish Cake, Surimi, Canning, Fish Oil, Salted Fish, Fish Meal, Fish Ball, Tuna Sausage, Tuna Ham dan Fish Crackers, yang sudah dikenal di pasaran dunia.

Oleh sebab itu, pemerintah harus mendorong sektor swasta untuk dapat mengembangkan industri pengolahan, dengan menyediakan fasilitas pendukungnya seperti cold storage, pabrik es, dan fasilitas pendukung lainnya. Kita menyadari bahwa dibutuhkan anggaran yang besar untuk pengembangan industri pengolahan ikan. Oleh sebab itu, pemerintah harus dapat memberikan insentif agar pihak swasta terdorong untuk mengembangkan industri pengolahan berbasis sumberdaya kelautan seperti kemudahan perizinan, insentif pajak, fasilitas kredit investasi dengan bunga rendah dan fasilitas infrastruktur. Dengan perkataan lain, pengembangan industri pengolahan perikanan harus mendapat dukungan dari lembaga keuangan, dan penulis yakin hal ini sudah mendapat perhatian khusus dari menteri kelautan dan perikanan.

• Kemitraan global

Pendekatan ketiga dalam membangun ekonomi maritime Indonesia adalah pengembangan kemitraan global melalui kerjasama antar negara baik dalam pembangunan industri pengolahan perikanan maupun dalam pembangunan infrastruktur maritim seperti pelabuhan perikanan bertaraf internasional. Kerjasama antar negara memungkinkan Indonesia dapat menjadi pusat bisnis produk perikanan, dengan alasan rasional kita memiliki berbagai jenis ikan ekonomis penting (bahan baku), dan teknologi pengolahan diintroduksi negara lain, maka kemitraan ini memberikan peluang dan harapan Indonesia menjadi pusat pengolahan perikanan dunia yang memberikan efek multiplier beragam terhadap berbagai subsektor kegiatan ekonomi maritim lainnya termasuk dalam penyerapan tenaga kerja.

Kemitraan global ini akan mudah dilakukan pada negara-negara yang tingkat konsumsi ikan per kapitanya sudah relatif tinggi, seperti Jepang, Tiongkok, dan negara-negara Eropa. Artinya, negara-negara tersebut memiliki potensi pasar yang tinggi terhadap produk perikanan, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Dengan demikian kemitraan global dalam pembangunan ekonomi maritime akan memberikan manfaat ganda bagi Indonesia, yakni di samping mengakselerasi pemanfaatan sumberdaya kelautan, juga mempercepat alih teknologi perikanan dan kelautan bagi masyarakat Indonesia.***

(Penulis adalah Guru Besar Ilmu Perikanan dan KelautanUniversitas HKBP Nommensen Medan).